Salah satu
ciri utama seorang yang bertaqwa ialah pemahamannya akan dunia dan akhirat
sebagaimana dikehendaki Allah سبحانه و تعالى . Ia yakin bahwa dunia merupakan
sekedar tempat bersenda-gurau dan bermain belaka. Sedangkan kehidupannya kelak
di akhirat ia pandang lebih utama daripada kehidupan di dunia. Kehidupan
akhirat-lah yang ia sikapi secara serius. Ia tidak mau bermain-main maupun
bersenda-gurau dengan kehidupan akhiratnya. Sehingga untuk kehidupan dunia ia
berikan perhatian yang secukupnya saja.
وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُالْآَخِرَةُ خَيْرٌ
لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan
tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An’aam ayat 32)
Keberhasilan
yang dikejar secara serius oleh seorang muttaqin ialah keberhasilan di akhirat.
Baginya keberhasilan di dunia merupakan sesuatu yang bersifat supplementary
(faktor pelengkap) saja. Tetapi keberhasilan di akhirat adalah sesuatu yang
tidak boleh ditawar sedikitpun karena ia merupakan faktor utama. Ia tidak rela
mempertaruhkan keberhasilannya di akhirat demi keberhasilannya di dunia. Namun
sebaliknya, demi keberhasilannya di akhirat ia rela kehilangan keberhasilannya
di dunia.
Berapapun
bagian dari dunia akan ia relakan bila hal itu dapat menjamin keberhasilannya
di akhirat. Sebab ia sangat yakin bahwa kehidupan sebenarnya adalah di negeri
akhirat. Sedangkan kehidupan di dunia tidak lain hanyalah senda-gurau dan
permainan belaka. Kalaupun berhasil di dunia, maka itu merupakan keberhasilan
sesaat, sementara dan palsu. Namun keberhasilan di akhirat merupakan
keberhasilan hakiki dan abadi. Bagaimana mungkin ia akan rela kehilangan
keberhasilan hakiki dan abadi demi memperoleh keberhasilan sesaat, sementara,
dan palsu?
وَمَا هَذِهِ
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآَخِرَةَ
لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan
tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”
(QS
Al-Ankabut 64)
Namun dalam
realitas kita melihat banyak manusia modern justeru bersikap sebaliknya. Dan
ini tidak saja diperlihatkan oleh sembarang manusia. Bahkan sebagian manusia
yang mengaku muslim sekalipun menampilkan sikap terbalik. Bila menyangkut
urusan peluang keberhasilan di dunia ia menjadi sangat serius. Ia kerahkan
perhatian, waktu, tenaga dan uang tanpa keraguan. Namun bila menyangkut urusan
peluang keberhasilan di akhirat ia malah bersikap setengah hati bahkan
bermain-main dan bersenda-gurau. Ia sangat fokus akan sukses dunia namun sangat
tidak peduli sukses akhirat. Seolah sukses dunia merupakan sesuatu yang hakiki
sedangkan sukses akhirat hanyalah mimpi tanpa bukti. Mengapa hal ini terjadi?
Salah satu
sebab mengapa banyak orang yang mengaku muslim memiliki logika dan sikap
terbalik menghadapi dunia dan akhirat karena mereka telah masuk ke dalam
perangkap “lubang biawak” yang ditawarkan oleh penguasa dunia modern dewasa
ini, yaitu masyarakat barat Amerika-Eropa alias masyarakat kaum yahudi-nasrani.
Dan keadaan ini sudah diprediksi oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم sejak
limabelas abad yang lalu.
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
شِبْرًا
بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ
لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ
قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Rasulullah
صلى الله عليه و سلم bersabda: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti
kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi
sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun, maka
kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah
mereka itu kaum yahudi dan nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan
mereka?” (HR Muslim
– shahih)
Dunia modern
dewasa ini membuktikan kebenaran prediksi Nabi صلى الله عليه و سلم di atas.
Kita menyaksikan bagaimana di satu sisi Allah سبحانه و تعالى berikan hak
kepemimpinan dunia (global leadership) kepada kaum yahudi dan nasrani dan pada
sisi lain banyak kaum muslimin menjadi pengekor kaum yahudi-nasrani sedikit
demi sedikit sehingga tatkala dijebloskan ke dalam lubang biawak sekalipun kaum
muslimin cenderung ikut saja. Padahal kaum yahudi-nasrani memiliki cara pandang
terhadap dunia sebagaimana peradaban Romawi dahulu kala, yakni cara pandang
materialisme. Hal ini Allah سبحانه و تعالى singkap di dalam surah yang nama
surahnya berarti bangsa Romawi, yaitu surah Ar-Ruum ayat ke tujuh:
يَعْلَمُونَ
ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَاوَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka
hanya mengetahui yang lahir/material (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka
tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS Ar-Ruum ayat 7)
Peradaban
Romawi masa lalu merupakan peradaban digdaya namun dilandasi faham
materialisme. Mereka hanya memahami keberhasilan berdasarkan tolok-ukur dunia
fana. Mereka tidak peduli bahkan mengingkari adanya kehidupan sebenarnya di
akhirat kelak. Oleh karenanya mereka berprinsip “It’s now or never” (kalau
tidak berhasil sekarang, maka tidak akan pernah berhasil selamanya). Dunia
modern-pun meyakini paradigma yang serupa. Akhirnya segenap manusia diarahkan
untuk meyakini hal serupa, tanpa kecuali kaum muslimin-pun disihir dengan cara
pandang materialisme.
Akhirnya
muncullah orang-orang yang mengaku muslim dan merasa bertaqwa tetapi
cara-pandangnya mirip dengan kaum yahudi-nasrani. Mereka lebih mengutamakan
kehidupan dunia daripada akhirat. Peduli sukses dunia daripada sukses akhirat.
Bahkan penyakit ini menjangkiti sebagian orang yang dikenal sebagai Ustadz di
tengah masyarakat. Para “ustadz” ini bila menafsirkan ayat Allah mengenai
bagaimana seharusnya mensikap dunia dan akhirat, maka mereka menafsirkannya
berdasarkan faham materialisme alias dunia-oriented. Misalnya terhadap ayat
berikut:
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”
(QS Al-Qashshash 77)
Sudah sangat
jelas bahwa melalui ayat di atas Allah سبحانه و تعالى menyuruh kita mengejar
negeri akhirat sebagai fokus utama. Sedangkan terhadap kenikmatan duniawi Allah
hanya mengatakan “jangan kamu lupakan bahagianmu”. Artinya, Allah menyuruh kita
all out (habis-habisan) mengejar kebahagiaan akhirat. Sedangkan terhadap dunia
yang penting jangan sampai kita melupakannya atau mengabaikannya. Redaksi ayat
sudah amat-sangat jelas seperti demikian.
Namun di era
penuh fitnah dewasa ini bermuncullanlah para “ustadz” yang tatkala menafsirkan
ayat di atas berkata:
“Wahai kaum
muslimin, silahkan berlomba menjadi orang kaya di dunia, sebab Islam tidak
melarang anda menjadi orang kaya. Bahkan para sahabat banyak yang kaya-raya
seperti Abu Bakar, Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan. Silahkan kejarlah
berbagai keberhasilan dunia….. Yang penting, janganlah sampai melupakan
kehidupan akhirat…..!”
SubhaanAllah….
sepertinya nasihat yang sungguh indah. Tetapi kalau kita renungkan dalam-dalam
jelas bahwa tafsiran yang disampaikan pak “ustadz” di atas bertentangan 180
derajat dengan apa yang Allah sebutkan di dalam ayatnya. Pak ustadz jelas-jelas
telah mengekor kepada paradigma materialisme peradaban Romawi. Pak ustadz telah
masuk ke dalam lubang biawak..! Pak Ustadz nyata-nyata lebih mengutamakan
kehidupan dunia daripada sukses akhirat.
Di dalam
Al-Qur’an Allah tidak pernah menyuruh kita untuk berlomba mengejar dunia.
Berkompetisi merebut keberhasilan di dunia apakah itu dalam hal kekayaan,
popularitas, kekuasaan dan lain sebagainya tidaklah Allah perintahkan. Bila
sudah berkenaan dengan kompetisi pasti Allah menyuruh kita berlomba merebut
sukses akhirat. Coba perhatikan ayat-ayat di bawah ini:
وَسَارِعُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (QS Ali Imran 133)
تَعْرِفُ فِي
وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِيُسْقَوْنَ مِنْ رَحِيقٍ مَخْتُومٍخِتَامُهُ
مِسْكٌ وَفِي
ذَلِكَ
فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَوَمِزَاجُهُ مِنْ تَسْنِيمٍعَيْنًا يَشْرَبُ
بِهَا الْمُقَرَّبُونَ
“Kamu dapat
mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.
Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah
kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. Dan
campuran khamar murni itu adalah dari tasnim, (yaitu) mata air yang minum
daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.” (QS Al-Muthaffifiin 24-28)
Ketika Allah
menyuruh “bersegeralah kamu” maka yang dimaksud adalah mengejar ampunan Allah
dan surgaNya. Ini semua merupakan perkara di akhirat kelak. Ketika Allah
menyuruh “untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” maka Allah
menyisipkannya di tengah rangkaian ayat yang sedang berbicara mengenai berbagai
kesenangan penghuni surga. Ini adalah urusan akhirat. Jadi, tidak pernah Allah
menyuruh kita untuk mengejar dunia dan mengejar ketertinggalan kita dari
orang-orang kafir di dalam urusan dunia. Bahkan jelas-jelas Allah melarang Nabi
Muhammad صلى الله عليه و سلم beserta ummatnya bergaul dan berdekat-dekat dengan
manusia yang dalam segala perhatian dan pembicaraannya hanya melulu urusan
dunia.
فَأَعْرِضْ
عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ
إِلَّا
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ
“Maka
berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan
hanya menginginkan kehidupan duniawi. Itulah batas pengetahuan mereka.” (QS An-Najm ayat 29-30)
Pantaslah
bilamana Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم mengajarkan kita doa agar dunia
tidak menjadi batas pengetahuan seorang mukmin dan muttaqin.
اللهملَا
تَجْعَلْ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا
“Ya Allah,
janganlah Engkau jadikan dunia menjadi perhatian utama kami serta batas
pengetahuan kami.” (HR Tirmizi
– Hasan)
0 komentar:
Posting Komentar